Friday, December 28, 2012

Hello Future


Belajar dari masa lalu.

Selalu ada hal menarik jika kita belajar dari masa lalu. Setiap orang memiliki masa lalu mereka sendiri-sendiri, baik atau buruk. Dan satu hal yang pasti dari masa lalu adalah masa tersebut tidak akan pernah bisa kita ulang walau seperseribu detikpun. Masa yang telah membuat kita seperti sekarang ini. Itulah masa lalu. Semua tak akan pernah sama seperti dahulu. Bumi terus berputar, manusia terus berubah. Hanya masa lalu yang akan tetap sama. 

Masa lalu memang sudah kita tinggalkan. Tapi bagaimana kita hari ini sangat ditentukan oleh masa lalu. Bagaimana pola pikir dan tingkat kedewasaan kita sangat ditentukan oleh bagaimana kita menyikapi masa lalu.

Betapa bodohnya aku yang di masa lalu terus asik dalam pengharapan yang salah tanpa pernah terusik, sementara aku sendiri menyadari betul kesalahan itu. Dan kini baru aku rasakan sesak akan rasa yang dulu begitu congkak. Mungkin aku memang harus segera beranjak, dari sebuah titik di mana aku selalu berpijak. 

Aku manusia biasa, berjalan dan terus mengikuti aliran kehidupan. Aku akan menjalani semua sesuai aturanku, selama itu tidak salah menurut aturanNya. Tapi dengan belajar dari masa lalu aku menyadari bahwa aku harus segera berubah. Harus dan tidak boleh tidak.

Perubahan itu perlu, karena dengan begitu aku belajar. 


And it's the beginning of something. It's a start either for you, and for us to have such as beautiful things. It's a hope, because finally there is another good things can happen, that we can finally be proud of.

Wednesday, December 26, 2012

Rindu Ini


Dear Kamu.

Masih ku ingat jelas saat itu, di mana aku termangu dalam kesendirianku. Kau hadir membawa angin segar, membuat aku kembali berfikir bahwa aku layak untuk kembali dicintai, dihormati dan dilindungi oleh seorang lelaki. 

Malam itu kita habiskan di sebuah restoran cepat saji. Bercerita tentang banyak hal hingga pukul lima di subuh hari. Suhu pendingin ruangan yang begitu rendah membuat rona merah bahagia itu hanya berupa wajah yang pucat pasi. Namun sesekali kau genggam erat tanganku, membuat aku hangat kembali. Pelan tetapi pasti, sejuta pesona yang kau pancarkan membuat aku jatuh hati. Walau ku tepis, diam-diam indahnya kedua mata coklat itu juga ku rindui. Duh, begitu mudahnya hatiku berlabuh kembali. Tuhan, dia makhluk terindah yang pernah menghampiri hati ini. Dia adalah bulan, meski angkuh diri tapi tetap menjadi yang terindah menyinari dalam gelapnya malam yang ku lalui.

Terlalu banyak pinta yang aku bisikkan pada Tuhan sejak pertemuan itu. Sesekali aku berdoa dalam sesegukan bertanya benarkah rasa ini adalah cinta yang kumaknai? Apakah kau juga punya rasa seperti yang aku rasa? Entahlah sayang, tabir yang kau buat kemudian terlalu banyak menyimpan misteri.

Namun kemudian dengan luka aku tersadar. Cinta kita bukan hal yang mungkin untuk jadi. Sebab kau dan dia ibarat dua insan yang telah terpatri. Salah aku yang telah hadir dan kemudian banyak berharap untuk juga dicintai. Dia adalah embun yang setiap pagi kau tunggu, sedangkan aku adalah mendung yang terkadang hanya merusak hangat senjamu. 

Oh Tuhan, aku sudahi semua harap dan rindu ini. Meski lagu mu tetap bernyayi dalam anganku, mungkin ini lah waktu di mana aku harus mengakhiri. Menunggu waktu di mana aku akan cukup baik bagimu, terasa begitu jengah. Aku bukan seorang pejuang. Tapi aku takkan menyerah. Mungkin aku hanya terlalu lelah...

Sunday, December 23, 2012

Tiada yang Kedua

Lihat ke sini, inilah aku yang senantiasa menghambakan diri dalam cintamu. Coba sebentar saja kau resapi atas apa aku berdiri.

Jika sedari awal perasaan ini hanya sebuah pura-pura, lalu kenapa aku harus bertahan sejauh ini? Sudah, jangan kau tanya lagi alasannya. Bahkan nalar pun hilang saat kau pinta aku menjelaskan rasanya.

Persepsi yang aku pilih menggambarkanmu, dan enggan membuka pintu untuk mengubah bentuknya. Aku takkan peduli dengan perkataan orang lain tentangmu. Persepsiku tentangmu tak kan kubiarkan terganggu. Bukankah begitu persepsi? Seutuhnya kuasaku?

Memang, sudah berulang kali aku mencoba membunuh perasaan ini. Tapi ibarat mengukur banyaknya air di samudra, semua ini sungguh sia-sia. Aku tak bisa. Jika yang kau pinta aku membuka lagi perasaan ini untuk hati-hati yang baru, maaf saja. Hatiku telah ku buka sia-sia untukmu. Tanpa ada yang kedua.