Saya pernah menonton sebuah film reliji yang berjudul 'Kiamat Sudah Dekat' yang kalau tidak salah dibintangi oleh Andre Taulany. Film ini bercerita tentang seorang rocker yang ingin sekali meminang seorang anak ulama, yang kemudian diberi beberapa tantangan oleh sang ulama untuk dapat meminang si gadis impian.
Saat itu usia saya masih sangat belia, sedang lucu-lucunya dalam masa remaja. Ketika si rocker diberi tantangan untuk belajar ikhlas, saya menggumam, "alah, cuma belajar ikhlas. Ikhlas mah gampang," pikir saya kala itu. Tantangan ini sangat berat bagi si rocker karena dia tidak paham bagaimana untuk belajar ikhlas, sedangkan bagi saya saat itu yang tantangan hidup belum menyentuh saya, ikhlas menjadi sangat mudah. Dikhianati teman, kehilangan uang, kehilangan benda berharga, dimarahi orang tua, serta apa pun masalah yang saya hadapi, tidak sulit bagi saya untuk mengikhlaskan segalanya. Apa yang terjadi, terjadilah, prinsip saya saat itu.
Namun ternyata hidup tidak semudah itu. Semakin saya beranjak dewasa, semakin banyak masalah yang menerjang hidup saya. Meski terkadang sulit, namun pelan tapi pasti saya pasti mengikhlaskan segala yang pernah terjadi dalam hidup saya. Saya belajar, demikian cara saya mengikhlaskan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup saya.
Hingga suatu hari di usia ke dua puluh satu di dalam hidup saya, saya mulai menghadapi terjangan hidup yang sangat berat. Saya menangis, hampir setiap malam. Kadang saya menangis meratapi kenapa hidup begitu kejam terhadap saya, kenapa Tuhan menguji saya dengan sangat berat seperti ini, atau kenapa hidup ini sangat tidak adil. Tidak jarang saya menangis marah, mengutuk Tuhan atas cobaan yang Dia berikan kepada saya. Saya marah, saya benci pada Tuhan saya saat itu. Satu tahun setengah saya menangis setiap malam, bertanya kenapa hidup saya penuh caci maki, direndahkan, dikambinghitamkan. Saya dibentak, saya dihina, saya diancam, keluarga saya disalahkan, bahkan pernah satu kali saya diseret keluar ruangan karena menuntut hak dan kewajiban saya yang tidak kunjung diberikan. Saya benci pada orang-orang di sekitar saya yang diam dan tidak peduli pada penderitaan saya. Mereka tau persis saya telah dizalimi dan dijahati, namun mereka memilih diam dan main aman supaya tidak terseret ke dalam masalah saya. Bukankah mendiamkan sebuah kezaliman dan kejahatan adalah bentuk dari kejahatan itu sendiri? Tuhan, liat kondisi saya. Saya marah padaMu, ya Rabb. Saya berada di titik terendah saya saat itu. Hidup saya seperti tanpa arti dan saya kehilangan tujuan. Kalau bukan karena iman dan orangtua saya, saya pasti sudah memilih mengakhiri hidup saya.
Alhamdulillah saya memiliki ayah dan ibu yang selalu percaya bahwa saya bisa melewati itu semua. Mereka selalu menelepon saya menguatkan saya meski saya tahu betul dalam setiap kata-kata semangat yang mereka ucapkan, mereka menahan tangis. Saya tahu persis bibir mereka kelu, ingin memaki orang yang telah bertindak aniaya kepada saya, namun kebaikan dalam diri mereka berkata lain untuk tetap mengajarkan hal-hal yang baik kepada saya. Itu saja yang menguatkan saya.
Hingga satu hari saya berhenti menangis dan berhenti mengadu pada orang tua saya, saya sudah tidak tahan lagi dan ingin memberontak. Di titik nadhir dalam hidup saya, saya memutuskan melawan. Saya tidak mau diperlakukan bak makhluk hina terus-terusan, saya manusia punya harkat dan martabat yang sejajar dengan manusia lain. Saya kemudian menempuh jalur hukum untuk menuntut orang yang selama satu tahun setengah merongrong hidup saya, bahkan saya siap untuk menyeret orang-orang di belakangnya yang ikut terlibat memfitnah saya dan membawa saya kepada masalah tersebut. Memang pada akhirnya masalah ini selesai dengan 'damai', kata mereka, namun saya yakin dan tahu pasti ini bukan akhir dari masalah ini. Berhenti menuntut secara hukum hanya meredam masalah saya sesaat, tidak menyelesaikannya.
Pelan tetapi pasti, setan dalam diri saya tetus berbicara. Masalah ini harus saya usut hingga tuntas. Saya yang awalnya berniat mengikhlaskan masalah ini malah merasa semakin tidak ikhlas. Saya yang mampu berdamai dengan takdir dan Tuhan nyatanya tidak mampu berdamai dengan rasa benci saya. Kebencian saya kepada oknum-oknum tersebut semakin terpupuk subur. Berkali-kali saya mencoba memotivasi diri saya untuk mengikhlaskan, semakin kuat kebencian itu tumbuh dalam diri saya. Saya marah, saya benci.
Saya sadar ada yang salah dalam diri saya, saya tahu persis hati saya dalam keadaan sakit. Saya sadar penyakit ini akan merugikan saya sendiri kini dan nanti. Saya juga paham betul satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan hati saya hanyalah rasa ikhlas, namun mengikhlaskan dalam hal ini sungguh sulit. Semakin sering saya mendengar nama-nama dan bertemu oknum tersebut, semakin saya benci dan marah. Semakin saya marah, semakin saya benci. Benci yang membuat dada saya sesak dan ingin menangis sejadi-jadinya.
Saya harus bagaimana, Tuhan?
Saya harus bagaimana, Tuhan?
Ternyata benar, belajar ikhlas itu tidak semudah mengucapkannya.