Monday, March 28, 2016

Pulang Malu, Tidak Pulang Rindu

Gambar diambil dari Google
Kalimat "pulang malu, tidak pulang rindu" sepertinya cocok dengan kondisi saya sekarang.

Bagaimana tidak, di usia saya sekarang, di mana teman-teman seusia saya telah bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang nominalnya sudah mencapai delapan angka, sudah merencanakan pernikahan dengan kekasih hatinya, bahkan sudah ada yang menikah dan memiliki anak, saya masih di sini, di kota hujan yang sesak dengan angkutan kota dan kendaraan ini, masih menunggu kepastian kapan laporan saya akan diperiksa dosen pembimbing, kapan laporan saya akan dikembalikan, kapan laporan saya bisa segera dicetak, kapan saya bisa ujian, dan kapan kiriman uang jajan bulanan dari orangtua akan datang.
Setiap kali ada kerabat atau teman yang menanyakan kabar, tidak jauh dari pertanyaan kapan saya akan pulang ke rumah, kapan saya lulus, atau kapan saya akan menyusul mereka ke pelaminan.
Tidak sedikit juga teman yang menanyakan kapan saya bisa diajak hangout bersama mereka, nongkrong di tempat gaul, mahal, dan keren dengan makanan yang rasanya 'innalillahi' namun terkenal karena tempatnya keren dan instagram-able.
Jujur, saya ingin segera bekerja mengumpulkan receh demi receh untuk membeli sebongkah berlian seperti mereka, sangat ingin. Saya juga ingin segera merencanakan pernikahan impian, berlibur ke tempat-tempat indah dan jauh seperti mereka, saya juga ingin nongkrong di tempat yang mereka cap keren walau sekedar untuk memamerkan satu cup kopi mahal seperti mereka, tapi bagaimana bisa, saya hanya mahasiswa kere yang masih menadahkan tangan meminta sokongan finansial dari orang tua.

Saya malu.

Tapi saya sangat rindu ingin pulang. Hampir genap sembilan tahun saya jauh dari orangtua, hanya menerima kiriman namun tidak menyaksikan sendiri bagaimana mereka menua membanting tulang agar anak mereka dapat penghidupan yang layak dan sekolah yang tinggi. Saya ingin menyaksikan kerut wajah ibu saya yang bertambah banyak atau punggung ayah saya yang bertambah lemah karena usia. Kesempatan pulang sekali atau dua kali setahun tidak cukup bagi saya meski sedikit waktu saya di rumah adalah kebahagiaan tak terkira mereka. Ingin rasanya saya segera pulang, memeluk mama dan papa, membuat mereka bangga dengan membawa serta gelar dokter yang hampir enam tahun sama-sama kami perjuangkan.



Saya rindu.

Namun apa daya, saya masih di sini tanpa kepastian. Menunggu pembimbing saya segera memeriksa dan mengembalikan laporan saya. Saya ingin segera lulus, tapi apa daya usaha dan doa saja memang tidak cukup. Ada banyak hal di dunia ini di luar kuasa saya.

Jadi, jangan tanyakan pertanyaan menyakitkan itu lagi. Jangan membuat luka di antara kita.